KOMUNEKOMUNAL.COM – Siapa yang masih suka kangen masa-masa kerja dari rumah alias work from home (WFH)? Bisa kerja santai, sambil makan camilan, nonton drakor, terus sesekali ngecek notifikasi kerjaan di ponsel. Kondisi yang muncul akibat pembatasan mobilisasi dari pemerintah saat Covid-19 tak dimungkiri menyenangkan bagi banyak orang.

Tak cuma itu, hidup kita pun berubah jadi serba digital. Pesan makan, langganan TV digital, transaksi perbankan, hingga ngobrol tatap muka jarak jauh juga bisa dilakukan melalui aplikasi ponsel. Lama-lama pertemanan digital terbentuk, kita bisa terhubung dengan teman atau kerabat dari mana saja hanya dengan sentuhan jari di ponsel.

Seru, kan? Tapi, setelah pandemi berakhir, kita mulai menyadari kalau manusia itu makhluk sosial yang tetap butuh interaksi langsung. Makanya, begitu keadaan kembali normal, banyak orang langsung “ngegas” buat nongkrong, kumpul komunitas, atau sekadar jalan keluar rumah. Kita seperti tetap ingin berinteraksi tatap muka yang lebih real, baik itu dengan teman, kerabat, atau kelompok yang memiliki hobi yang sama.

Tentu saja fenomena itu enggak cuma soal kangen ketemu teman, tapi juga ngasih peluang besar buat brand dalam strategi pemasaran mereka. Artinya, enggak bisa dimungkiri lagi bahwa saat ini marketing komunitas jadi tren yang semakin disukai oleh brand.

Menurut laporan “Think Forward 2025” dari We Are Social, marketing berbasis komunitas bakal makin berjaya karena banyak orang mulai lelah dengan notifikasi pesan digital yang enggak relevan atau terlalu mengganggu. Banjir notifikasi yang terjadi sejak pandemi Covid-19 semakin “chaos”, hingga saat ini yang banyak didominasi bot pesan. Alih-alih senang dapat pesan Whatsapp, jadi malah kepengin buru-buru nge-block pengirim!

Kenapa Marketing Komunitas Makin Populer?

Komunitas yang real  tentu jadi kebutuhan banyak orang saat ini, berinteraksi dengan “real human” yang memiliki kesamaan visi, sehingga merasa jadi bagian satu sama lain. Hal inilah yang jadi peluang besar bagi marketing komunitas. Tentry Yudvi, founder Komune Komunal, menyebut kalau tren marketing komunitas yang makin naik daun ini enggak lepas dari perubahan gaya hidup masyarakat pascapandemi.

“Selama pandemi, orang terbiasa sendiri di rumah. Interaksi pun banyak menggunakan platform digital. Sehingga, setelah melewati badai pandemi, kita kembali mencari komunal sosial yang menumbuhkan self-development diri,” jelas Tentry.

Salah satu contoh nyata adalah komunitas olahraga lari. Setelah pandemi, olahraga ini semakin hype. Enggak heran kalau kita sering lihat komunitas lari berkumpul di lomba marathon atau sekadar jogging bareng di car free day (CFD).

“Setelah pandemi, olahraga ini menjadi hobi yang banyak diminati. Antusiasmenya semakin masif, sehingga brands pun membutuhkan komunitas untuk mendukung campaign dan values perusahaan,” tambah Tentry.

Generasi Z dan Komunitas

Satu catatan penting yang menarik dari hasil survei adalah bahwa tren komunitas ini ternyata juga didorong oleh generasi muda, terutama Gen Z. Mereka suka banget dengan konsep gathering yang meaningful, seperti ngobrol santai di kafe, olahraga bareng, atau sekadar sharing insight tentang hobi. Dari pertemuan-pertemuan ini, sering kali tercipta hubungan yang lebih erat dan bahkan loyalitas terhadap suatu brand.

Menurut laporan We Are Social yang dikutip majalah Marketeers, orang kini lebih tertarik bergabung dengan komunitas atau fandom yang didasarkan pada passion yang sama. Itulah kenapa strategi marketing yang fokus pada pengalaman lebih personal mulai banyak diterapkan. Misalnya, event eksklusif untuk pelanggan setia atau gathering komunitas yang memberi pengalaman lebih dekat dengan brand.

Tentry menambahkan bahwa Gen Z sangat menyukai pengalaman yang sifatnya personalized alias sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka, sehingga banyak dipakai sebagai cara komunikasi mereka terhadap penggemarnya.

“Perubahan gaya berkomunikasi sosial ini memberikan peluang untuk banyak perusahaan dalam meningkatkan reputasi, karena adanya konsumen organik yang berkumpul menjadi komunitas. Nah, komunitas untuk brands bisa memberikan dampak pada brand awareness hingga peningkatan income sebuah brand,” tambah Tentry.

Fakta ini juga diperkuat dengan riset dari Vogue Business pada Maret 2024 yang melakukan survei pada 750 Gen Z di Amerika Serikat. Hasilnya? Brand yang ingin sukses harus mengubah caranya berkomunikasi dengan Gen Z, yaitu dengan melibatkan mereka langsung dalam komunitas, bukan sekadar mempromosikan produk di media sosial.

Lebih dari Sekadar Jumlah Follower

Rasanya marketing komunitas ini sebenarnya lebih dari sekadar punya banyak follower di media sosial. Herry Fahrur Rizal, orang Indonesia pertama yang mendapatkan sertifikasi komunitas profesional dari CMX Hub (2021), menegaskan bahwa koneksi bermakna dengan pelanggan enggak bisa cuma diukur dari jumlah follower

Menurutnya, di balik angka follower yang besar, bisa jadi ada banyak akun bot atau buzzer dengan agenda masing-masing. surga slot

“Sudah bukan rahasia lagi bahwa di balik follower yang banyak, bisa jadi itu bukan manusia nyata melainkan chatbot. Jika pun benar memang manusia nyata, di balik follower itu sebagian adalah buzzer dengan agendanya tersendiri yang tidak benar-benar tulus membangun hubungan bermakna,” tulis Herry dalam laman pribadinya.

Bagaimana Brand Memanfaatkan Komunitas?

Kalau marketing komunitas begitu menjanjikan, bagaimana cara agar brand bisa memanfaatkannya dengan baik? Dikutip dari berbagai sumber, berikut ini beberapa tips yang bisa dicoba dalam membangun komunikasi yang baik antara brand dan penggemarnya.

1. Bangun Komunitas yang Relevan

Brand perlu memahami siapa target audiens mereka dan komunitas seperti apa yang sesuai. Misalnya, brand olahraga bisa membangun komunitas lari atau yoga, sementara brand teknologi bisa membuat forum diskusi seputar inovasi digital.

2. Ciptakan Pengalaman Personal

Mengadakan event eksklusif atau memberikan konten yang sesuai dengan kebutuhan komunitas bisa membuat anggota merasa lebih dihargai dan terlibat.

3. Melibatkan Member dalam Proses Branding

Ajak komunitas untuk berpartisipasi dalam pembuatan produk atau campaign brand. Misalnya, brand fashion bisa mengadakan voting desain terbaru, atau brand makanan bisa meminta masukan soal rasa baru.

4. Fokus pada Koneksi yang Tulus

Jangan hanya mengejar angka, lebih baik punya komunitas kecil tapi solid daripada besar tapi nggak aktif. Bangun komunikasi dua arah agar komunitas merasa didengar.

5. Manfaatkan Media Sosial dengan Cerdas

Gunakan media sosial untuk membangun engagement, bukan hanya promosi. Diskusi, sharing pengalaman, atau membuat tantangan yang melibatkan komunitas bisa menjadi cara efektif untuk meningkatkan keterlibatan.

Marketing komunitas bukan sekadar tren sementara, tapi strategi jangka panjang yang bisa membantu brand membangun hubungan yang lebih kuat dan bermakna dengan audiensnya.

Dengan pendekatan yang tepat, brand bisa mendapatkan loyalitas pelanggan yang lebih besar dibanding hanya mengandalkan iklan atau campaign biasa. Jadi, kalau brand ingin lebih dekat dengan audiens, saatnya mulai merangkul komunitas yang sesuai. Siap ikut tren marketing komunitas tahun ini? Jangan skip! (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *